Wednesday, February 17, 2021

Eps. 9 Drama Korea VS Sinetron Indonesia

Saya kemudian tertarik membahas topic ini karena saya baru saja menyelesaikan salah satu serial drama korea dan menghabiskan waktu kurang lebih 25 jam untuk 21 episode dan saya ingin 25 jam itu tidak hanya berlalu begitu saja namun berjejak dilini massa saya dan saya berinisiatif untuk membuat tulisan tentang drama korea dan sinetron Indonesia menurut kaca mata saya sendiri.

Saya  adalah si penyuka film ataupun drama bergenre apapun dan dari Negara manapun hehe. Disepanjang perjalanan saya menonton film atau pun drama, drama korealah yang paling sering saya tonton. Kenapa? Menurut saya drama korea selain salah satu sumber edukasi dan informative mau genre apapun selalu punya tahap penyelesaian masalah yang kompleks, masalah atau konflik yang dihadirkan pun selalu tak biasa yang membuat penonton bersemangat dan semakin penasaran dengan episode selajutnya, judulnya selalu nyambung dengan isi ceritanya, pemeran utama yang tak selalu tak berdaya, menangis dan berdoa tapi melakukan perlawanan, berusaha.  selain itu cerita dalam drama korea selalu dikemas dengan sangat kreatif misalnya sejarah tentang kekaisaran yang kemudian dibungkus dengan politik atau mungkin tentang star Up (perusahaan rintisan) dan lain sebagainya. Intinya drama koreaa punya beragam tema cerita. I like it dan bahkan saya punya daftar drama korea yang wajib ditonton. Hahaha

Lain cerita dengan drama Indonesia atau sinetron Indonesia yang  menurut saya pribadi kebanyakan sinetron Indonesia punya cerita yang berbelit-belit dan mau genre apapun ceritanya begitu-begitu saja dan tentang itu-itu saja, tahap penyelesaian masalah yang kurang jelas, penyampaian tujuan atau pesanya sangat kurang tersampaikan, lebih mementingkan reting jadi kadang sinetron Indonesia itu apabila diakhir atau tengah penayangan kemudian booming dan naik retingnya maka akan diperpanjang episodenya diberikan bumbu cerita yang menurut saya kadang tidak nyambung dengan tujuan sebelumnya, kemudian episodenya yang hingga ribuan dan tidak ada edukasi asal-asalan membuat penonton yang bodoh semakin bodoh-_- yah karena kebanyakan mau profesi dokter, pengacara, pengusaha, anak sekolahan tetap urusannya seputaran “cinta-cintaan” atau “harta-hartaan” hehe dan hal-hal tersebut diatas yang mungkin akan membuat sinetron Indonesia diabaikan bahkan ditinggalkan oleh orang-orang yang mengerti atau paham tentang edukasi dan beralih ke konten luar negeri yang mungkin lebih bermanfaat.

Bukannya tidak suka produk dalam negeri tapi menurut saya untuk produksi indutri hiburan agar lebih kreatif lagi dalam menanyangkan sinerton yang tentunya penuh edukasi dan informative tidak mementingkan reting atau tidak mementingkan pemeran yang untung tampang atau untung viral tapi yang benar-benar punya nilai saat berakting ciehh hahha iya harus berani keluar dari zona nyaman, berani melangkah lebih lagi tak perduli sebesar apa pengeluaran yang demi subuah TOTALITAS. 

Terimakasih telah berkunjung, sampai ketemu diminggu depan.

Fb :Yita Lamanto

Ig : Yita_Lamanto

Wednesday, February 10, 2021

Eps. 8 Tentang Buku “The Subtle Art Of Not Giving A Fuck” #BukaBUKU

Hari kamis tanggal 28 januari 2021 pukul 17.40 saya selesai membaca buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat saya sangat menyukai buku ini mulai dari sampulnya yang tak bertele-tele dan transparan hingga penyampaian kalimatnya yang begitu terus terang tanpa kata-kata khiasan. Ini menjadi buku non fiksi pertama yang menjadi favorite saya bagaimana tidak ketika membaca buku ini saya banyak mewarnai beberapa kalimat yang sangat menyentuh dan pastinya menjadi penggerak.

Buku ini ditulis oleh Mark Manson tentang kisah atau perjalanannya, entah melalui kisah orang lain atau dari dirinya sendiri yang kemudian membuatnya menemukan cara pandang baru tentang hidup yang waras dan hidup yang lebih baik. Dibuku ini juga dia banyak bercerita tentang berbagai macam permasalah yang sering menggorogoti diri kita sendiri dari mulai keliru dalam menetapkan nilai-nilai, paradox tentang tanggapan kita akan kegagalan dan kesuksesan, yang sering merasa diri sendiri istimewa, dan lain sebagainya. Dan part paling berarti untuk saya adalah dibagian terakhir tentang “kematian” satu topic yang menakutkan untuk diucapkan yah hanya sekedar diucapkan apalagi dibicarakan. Jujur saya sangat takut dengan kematian entah untuk saya atau orang-orang terdekat namun setelah membaca buku itu saya kemudian sadar betapa pentingnya untuk berdamai dengan ketakutan. “Kematian” adalah satu-satunya hal yang kita tau pasti akan nyatanya hal itu dan iya mengatakan saat anda berdamai dengan sesuatu yang menurut anda menakutkan, hal pastinya adalah kita akan menemukan sudut pandang baru dari hal tersebut. Saya akan melakukan hal itu! Apa? Berdamai dengan rasa takut itu.

Selain part tentang “kematian” ada juga part lain yang menjadi favorite saya tentang rasa kecewa dan patah hati yang di salah satu kalimatnya adalah “siapapun mereka yang telah membuat anda kecewa dan patah hati walaupun mereka patut untuk disalahkan atas apa yang anda rasakan namun dia tidak perna bertanggung jawab atas apa yang anda rasakan tapi kita sendirilah yang bertanggung jawab atas rasa tersebut”, memilih untuk membenci ataupun berdamai, melupakannya dan menjadi bahagia.    

Saya tidak akan bercerita banyak tentang isi buku ini jadi anda saja yang membacanya sendiri. Oh yah saya bertekat untuk membacanya kembali suatu hari nanti. Ini salah satu buku rekomendasi dari saya silahkan dibaca.

Terimakasih telah berkunjung, sampai ketemu diminggu depan.

Fb :Yita Lamanto

Ig : Yita_Lamanto

 

 

Thursday, February 4, 2021

Eps 7. Pernikahan Anak Salah Satu Penyumbang Kemerosotan Ekonomi Negara?

Permasalahan satu ini masih menjadi fenomena serta hal wajar bagi masyarakat, sangat disayangkan banyak masyarakat terkhusus orang tua yang masih buta dengan dampak pernikahan anak entah secara fisik, mental, maupun social ekonomi. Masyarakat yang terutama orang tua yang masih mempercayai dan memegang erat kepercayaan nenek moyang dan patriarki. Menghalalkan pernikahan anak dengan landasan dari pada sex bebas lebih baik dinikahkan bukannya keluargalah digarda terdepan dalam memberikan edukasi kepada anak-anaknya? juga menganggap menikahkan anak dapat membantu mengurangi beban ekonomi atau menikahkan anak dapat membantu memenuhi ekonomi keluarga dan lain sebagainya.

Pendidikan dinilai tak penting yang penting adalah tau membaca dan menulis tak buta huruf sudah cukup serta menganggap kodratnya seorang wanita hanya sebatas dapur, kasur dan sumur itu masih dipercaya oleh beberapa masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan menengah kebawah yang dapat disimpulkan bahwa semua hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan. Menurut Data Dari Survei Social Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 BPS angka penikahan anak diindoneisa terbilang cukup tinggi mencapai 1.2 juta kejadian. Itu data pada tahun 2018, sekarang tahun 2021 mungkin sudah dua kali lipatnya sangat sangat disayangkan.

Jelas dari pernikahan anak ini ada berbagai macam dampak buruk yang terjadi seperti tingginya angka bayi lahir premature, pendarahan saat persalinan dan bahkan berakhir meninggal. Dampak pernikahan anak juga mengakibatkan rentangnya terjadi stress akibat ketidaktahuan cara pengasuahan anak hingga depresi setelah melahirkan ataupun akibat korban kekerasan dalam rumah tangga. Ternyata tak hanya pada ibu dampak fisik pun rentan berdampak pada janin yang akan dilahirkan seperti cacat bawaan lahir, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) karena janin yang tidak siap lahir karena belum matangnya reproduksi calon ibu, bayi juga rentan dengan permasalahan tumbuh kembang (stunting). 

Tidak hanya itu saja pernikahan anak pun berdampak pada social ekonomi, jika berbicara skala luas SAYA KATAKAN pernikahan anak salah satu penyumbang kemerosotan ekonomi Negara bagaimana bisa? Pernikahan anak mengakibatkan terputusnya sekolah ataupun pernikahan membuat putus sekolah yang kemudian “anak” memiliki perkerjaan kurang atau penghasilan dibawah UMR ataupun tidak juga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari hal tersebut jelas memperkecil peluang dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Menurut data pernikahan anak dibawah usia 18 tahun memiliki tingkat pekerjaan kurang dilapangan kerja formal hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat pendidikan dalam lapangan pekerjaan yang mengakibatkan kurangnya kesempatan anak untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja formal. 

Kemudian selain dalam rana pekerjaan, rana kesehatan pun berdampak menurut data yang saya baca disebuah artikel sekitar 9,5 juta anak Indonesia mengalami stunting artinya satu dari tiga anak Indonesia akan kehilangan peluang mengeyam pendidikan. Stunting ternyata membebani pemerintah pusat hingga Rp 49.767.23 miliar dalam program penanganan stunting tahun 2018 didaerah, penyaluran anggaran untuk mendukung proyek prioritas nasional dalam penurunan angka stunting yang disalurkan melalui dana transfer daerah adalah sebesar Rp 92.571.48 miliar. Jadi apabila pernikahan anak diakhiri atau tidak terjadi lagi maka secara global kematian balita yang rendah dan angka stunting ikut turun dan akan menghemat anggaran Negara hingga 90 miliar setiap setiap tahun.

Yah luar biasa bukan? Dampak dari penikahan anak? untuk para pembaca blog pegiattulisan saya terima kasih semoga dengan adanya tulisan ini bisa sedikit membantu ataupun memahami akan dampak negative yang ditimbulkan oleh perikanahan anak tersebut.  

Terimakasih telah berkunjung, silahkan dishareJ dan sampai ketemu diminggu depan.

Fb :Yita Lamanto

Ig : Yita_Lamanto